Langsung ke konten utama

Cerpen : Sesobek surat untukmu kakak By Ibrahim Adham Al-falah

            Kehangatan matahari pagi dari ufuk timur menggelayuti kulit gelapku, seakan mengucapkan selamat pagi kepadaku. Aku duduk termenug di depan rumahku, tepatnya di kursi tua nan rapuh yang mulai habis di makan oleh waktu. Kegelisahan terus mencakar-cakar pikiranku, bagaikan orang yang kehilangan cahaya di tengah kegelapan. Detik demi detik di pagi ini terasa sangat berat bagiku. “Sebaiknya anda sabar menghadapi kenyataan ini… adik anda…. di diaknosa mengidap penyakit….. kanker otak….”. itulah ucapan dokter tadi malam di suatu rumah sakit di daerah Jakarta. Ketika mendengarnya, telingaku serasa di tusuk oleh pedang yang sangat tajam, dan seakan-akan pedang itu juga menusuk hatiku secara bertubi-tubi. Sebenarnya, aku masih belum bisa menerima ucapan dokter tadi malam. Adikku yang baru berusia enam tahun ini harus menderita penyakit seganas itu. Sekarang, aku baru sadar bahwa prestasi tinggi, nilai bagus di kelas, dan kecerdasan yang hampir menyentuh kata sempurna, belum bisa menjamin kesehatan seseorang. Tiga hal tadi memang sudah di miliki adikku, dia bisa baca tulis semenjak umur tiga tahun. Kecerdasannya dalam berbagai bidang pelajaran memang sudah di akui oleh guru-gurunya di sekolah, apalagi dalam bidang matematika, guru matematikanya sampai terkagum-kagum dengan kepandaiannya, bagaimana tidak, nilai matematikanya tidak pernah kurang dari 90. Tapi semua hal di atas tidak ada artinya sekarang, dia hanya bisa terbaring lemah di kamarnya. “Kakak…. Kakak….” Dia memanggilku dari dalam kamar “iya Rido, ada apa ?” aku menghampirinya, dan kudapati dia dengan wajah pucat separti bunga yang tak pernah di siram selama berminggu-minggu. “Rido pengen sekolah….” , dia mengatakannya dengan mata yang sedikit berbinar. “Rido sabar dulu ya….. kan rido belum sembuh…. Rido istirahat dulu ya…”. Air mata mulai mengalir di pipinya. “tapi rido pengen sekolah….”. perkataanya membuatku menangis, semangatnya dalam menuntut ilmu memang sangat besar, sampai-sampai saat sakit seperti ini-pun, dia tetap bersikeras untuk sekolah. Aku hanya bisa menangis, menangis, dan menangis di hadapannya, kemudian aku langsung memeluknya dan menasehatinya dengan lembut “Rido sabar dulu, besok kalau kamu udah sembuh, kakak anterin ke sekolah… oke…?!”. Dia mengagguk-angguk tanda setuju. Aku pun duduk di sampingnya untuk menyanyikan lagu tidur dan membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang, tak butuh waktu lama, dia pun tertidur. Keika matahari mulai ditelan bumi bagian barat, azan magrib mulai berkumandang di sebagian belahan dunia, saat aku hendak melaksanakan sholat magrib di masjid, “kak Hani !” “ada apa Rido ?” “Rido boleh ikut sholat di masjid nggak ?” “Rido kan masih sakit….! mendingan sekarang Rido istirahat dulu di kamar…! Kakak aja yang ke masjid…”.kemudian aku langsung pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid. Saat aku melaksanakan sholat magrib, perasaanku sangat tidak enak karena aku meninggalkan rido sendirian tanpa pengawasan, sedangkan kedua orang tuaku berdagang dari pagi tadi, mereka mencari uang untuk pengobatan Rido, yang memang untuk penyakit yang satu ini, biaya pengobatan yang harus dikluarkan memang tidak sedikit. Usai aku melaksanakan sholat magrib di masjid, aku langsung lari ke rumah dengan penuh kekhawatiran. Dan saat aku membuka pintu rumah, begitu terkejutnya aku melhat Rido terbaring di depan pintu dengan sarung, baju koko, dan peci hitam yang melekat di tubuhnya. Saat itu juga, aku langsung melarikannya ke rumah sakit terdekat “Gimana dok, keadaan Rido ?!” aku langsung menghampiri dokter ketika ia baru keluar dari ruang UGD, “semoga anda dan keluarga sabar menerima kenyataan pahit ini. Rido adik anda… tidak bisa bertahan hidup lebih dari tiga bulan kedepan… yang bisa anda lakukan hanya berdoa kepada tuhan, berharap agar tuhan memberikan keajaiban kepada adik anda…” seketika itu juga aku langsung menangis histeris di sudut ruangan, dan di saat yang sama, orng tuaku datang “Hani….Hani….!! kamu kenapa ?!” ibuku memanggilku dengan nada yang sangat panik. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan ibuku karena aku benar-benar sangat merasa sedih. Kemudian ibuku menanyakannya kepada dokter. Setelah dokter menjelaskan, ibu dan ayahku-pun ikut menangis dan mereka langsung memelukku. “Rido kenapa bu…?”, Rido menanyakannya dengan suara yang sangat lemas. Sambil menangis, ibuku menjawab “kamu nggak kenapa-napa nak…”. Rido balik bertanya “kalo nggak kenapa-napa, kok ibu, bapak, ama kakak nangis…?!”, kemudian ibuku langsung mengusap air matanya, lalu ia langsung memeluk Rido sambil berkata “Rido nggak kenapa-napa kok… besok pagi, ibu beliin ayam goreng kesukaan Rido ya…”, “makasih ya bu…” sambil sedikit tersenyum. Bumi kembali memuntahkan matahari dari sebelah timur, aku masih menemani Rido di rumah sakit. Biasanya, untuk menghilangkan kejenuhan aku mengucapkan beberapa lelucon yang bisa kukeluarkan, namun Rido hanya tertawa kecil, walaupun begitu, aku tetap merasa bahagia. aku memang harus menyembunyikan kesedihanku di hadapannya, walaupun sebenarnya, hati kecilku ini tak bisa lagi menahan kesedihan karena melihat keadaan Rido yang seperti saat ini. Hari demi hari, minggu demi minggu sampai pada bulan ke dua dari ucapan dokter saat itu, keadaan Rido sudah sangat memprihatinkan. Wajahnya semakin pucat, badannya semakin lemas, sampai-sampai, dia sekarang tidak bisa bicara. Seperti hari-hari sebelumnya, aku membuatkannya semangkuk bubur dan segelas teh hangat untuknya. Dan pada suatu ketika, saat aku masuk ke kamarnya, kulihat dia sedang menunjukkan kepadaku sebuah kertas yang bertuliskan “kak… Rido nggak usah di buatin bubur ama teh lagi… rido nggak mau nyusahin kakak…” kemudian aku menghampirinya “Tenang aja… rido nggak nyusahin kakak kok… kakak ngelakuin ini biar Rido cepet sembuh… nih, makan dulu, biar cepet sembuh…” kemudian aku menyuapinya dengan kasih sayang. Keesokan harinya. Seperti biasa, aku membawakannya makanan, ketika aku masuk ke kamarnya, kulihat dia sedang menuliskan sesuatu di selembar kertas dengan pena kecilnya, ketika aku mendekatinya, dia langsung menyembunyikannya di balik badannya ketika aku bertanya “itu kertas apa Rido…?!” dia malah tersenyum kepadaku. Dalam otakku, aku berpikir itu adalah kertas yang bertuliskan selamat ulang tahun untuk sahabat karibnya di sekolah yang memang dua hari lagi ia berulang tahun Beberapa hari kemudian aku kembali membawakannya bubur dan teh hangat untuknya, tapi hari ini ada yang spesial, aku membawakan coklat kesukaannya, dia juga aku belikan baju baru dengan warna favoritnya, yaitu hitam. Pada baju itu terdapat tulisan yang sengaja kubuatkan untuknya, tuisannya adalah “Just For You Rido”. Saat aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan gembira, sudah bisa ku-bayangkan senyuman manis rido saat kuberikan dua benda favoritnya itu. Saat aku memasuki kamarnya, begitu terkejutnya aku ketika dia memanggilku, “kakak… kakak…” “Rido… Rido kamu bisa ngomong lagi ?!” senyumku berbunga bunga manis di pipiku. Aku langsung meletakkan benda-benda yang kubawa tadi di atas meja. Ketika aku mendekatinya, kulihat ia mengulurkan sebuah surat kepadaku. Sambil tersenyum lemas, dia berkata “ma.... makasih.... ya kak.....!”, belum sempat kugapai surat itu, dia menjatuhkannya ke lantai, dan ketika kulihat, dia sudah tak sadarkan diri, seketika itu juga, senyumku jatuh menjadi raut kesedihan. Aku langsung memanggil dokter dengan suara yang keras “DOKTEEERR....!!!”. tak berselang lama, dokter-pun datang dengan membawa alat periksanya, dia memerintahkanku untuk menunggu di luar, aku mengambil surat itu di lantai kemudian keluar dari ruangan itu. Di luar, aku tak bisa menahan air mata. Aku menunggu kepastian dengan penuh harapan, sampai akhirnya dokter keluar dengan raut muka penyesalan. “maaf sekali mbak Hani... kami tidak bisa menyelamatkan nyawa Rido, Rido sudah dipanggil oleh yang maha kuasa. Semoga anda dan keluarga diberikan kesabaran oleh allah. Saya turut berduka atas meninggalnya Rido”. Tak usah menunggu lama, aku langsung masuk ke kamar itu dengan tangisan histeris. Tangisanku semakin menjadi-jadi ketika aku melihat Rido sudah ter-baring tak bernyawa. “Ridooo.....!!!” aku berteriak memanggil namanya, berharap dia kembali bangun, namun apa daya, Rido tak akan kembali lagi untuk selama-lamanya. Saat pemakaman Rido, mungkin aku adalah orang yang paling sedih di tempat itu, rido di makamkan bersama baju hitam yang kubelikan waktu itu. Saat yang lain meninggalkan area pemakaman, tinggal aku dan kedua orang tuaku yang tetap tinggal. “udah Hani... kamu harus sabar, kalo kamu sabar, insya allah Rido akan bahagia di alam sana” aku hanya terdiam tak menanggapi ucapan ayahku tadi, “ayah pulang dulu ya...” ayahku meninggalkan pemakaman disusul oleh ibuku. Setelah ayah dan ibuku pulang kerumah, aku mengeluarkan surat yang Rido berikan kepadaku, aku membaca surat itu sembari menangis di-salah satu sisi makam Rido, dan kira-kira isi suratnya seperti ini Kak Hani, makasih buat semua yang kak Hani lakuin buat Rido, Rido seneng banget punya kakak kaya kak Hani. Apalagi waktu kak Hani bikinin Rido bubur, buburnya enaakk... banget, kak Hani emang tau apa yang Rido suka, makasih ya kak... Tapi kayaknya Rido harus ninggalin kakak, tapi walaupun Rido udah pergi, Rido tetep akan nginget kakak, dan kakak harus ngelakuin sebaliknya. tolong bilangin ke temen sekolah Rido kalo rido mau tidur sebentar, temen-temen nggak boleh sedih. Dan yang terekhir, tolong bilangin ke bapak ama ibu, jangan sedih, kita akan ketemu lagi di surga nanti, makasih atas pengorbanan harta dan jasanya. Jasa ibu dan bapak nggak akan pernah Rido lupain, selamanya. Rido pamit dulu ya Wassalamu’alaikum (al_falah43)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bangga jadi Jomblo

TAMAN-Jomblo, mungkin itu adalah nama yg sering orang sebut kepada kaum remaja single atau lebih tepatnya “belum punya pacar”. Bahkan, tidak hanya sebatas kaum remaja, kaum kakek dan nenek yang belum kunjung menemukan sang pendamping hidup juga disebut Jomblo. Namun jangan salah, walaupun banyak orang mengira Jomblo itu ngenes atau Jones, ternyata banyak kelebihan relatif kaum Jomblo dibandingkan orang yang mempunyai pacar. Mari kita kupas, 1       Lebih dekat dengan allah Hal ini memang relatif, tapi serajin apapun orang berpacaran dalam hal ibadah, akan berbeda jika ia Jomblo. Sang Jomblo bisa beribadah terus menerus tanpa harus memikirkan pacar dan kemungkinan besar mereka akan jauh dari kata riya’. 2.        Lebih dekat dengan keluarga Ya, sang Jomblo akan lebih dekat dengan keluarga, karena mereka tidak harus mengurung diri di kamar untuk telfonan dengan pacar atau apapun itu. Mereka akan memiliki banyak waktu untuk keluarga tercinta. 3.         Lebih solid d

Download