Kehangatan matahari pagi dari ufuk timur menggelayuti kulit gelapku,
seakan mengucapkan selamat pagi kepadaku. Aku duduk termenug di depan
rumahku, tepatnya di kursi tua nan rapuh yang mulai habis di makan oleh
waktu.
Kegelisahan terus mencakar-cakar pikiranku, bagaikan orang yang
kehilangan cahaya di tengah kegelapan. Detik demi detik di pagi ini
terasa sangat berat bagiku. “Sebaiknya anda sabar menghadapi kenyataan
ini… adik anda…. di diaknosa mengidap penyakit….. kanker otak….”. itulah
ucapan dokter tadi malam di suatu rumah sakit di daerah Jakarta. Ketika
mendengarnya, telingaku serasa di tusuk oleh pedang yang sangat tajam,
dan seakan-akan pedang itu juga menusuk hatiku secara bertubi-tubi.
Sebenarnya, aku masih belum bisa menerima ucapan dokter tadi malam.
Adikku yang baru berusia enam tahun ini harus menderita penyakit seganas
itu. Sekarang, aku baru sadar bahwa prestasi tinggi, nilai bagus di
kelas, dan kecerdasan yang hampir menyentuh kata sempurna, belum bisa
menjamin kesehatan seseorang. Tiga hal tadi memang sudah di miliki
adikku, dia bisa baca tulis semenjak umur tiga tahun. Kecerdasannya
dalam berbagai bidang pelajaran memang sudah di akui oleh guru-gurunya
di sekolah, apalagi dalam bidang matematika, guru matematikanya sampai
terkagum-kagum dengan kepandaiannya, bagaimana tidak, nilai
matematikanya tidak pernah kurang dari 90. Tapi semua hal di atas tidak
ada artinya sekarang, dia hanya bisa terbaring lemah di kamarnya.
“Kakak…. Kakak….” Dia memanggilku dari dalam kamar “iya Rido, ada apa
?” aku menghampirinya, dan kudapati dia dengan wajah pucat separti bunga
yang tak pernah di siram selama berminggu-minggu. “Rido pengen
sekolah….” , dia mengatakannya dengan mata yang sedikit berbinar. “Rido
sabar dulu ya….. kan rido belum sembuh…. Rido istirahat dulu ya…”. Air
mata mulai mengalir di pipinya. “tapi rido pengen sekolah….”.
perkataanya membuatku menangis, semangatnya dalam menuntut ilmu memang
sangat besar, sampai-sampai saat sakit seperti ini-pun, dia tetap
bersikeras untuk sekolah.
Aku hanya bisa menangis, menangis, dan menangis di hadapannya, kemudian
aku langsung memeluknya dan menasehatinya dengan lembut “Rido sabar
dulu, besok kalau kamu udah sembuh, kakak anterin ke sekolah… oke…?!”.
Dia mengagguk-angguk tanda setuju. Aku pun duduk di sampingnya untuk
menyanyikan lagu tidur dan membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang,
tak butuh waktu lama, dia pun tertidur.
Keika matahari mulai ditelan bumi bagian barat, azan magrib mulai
berkumandang di sebagian belahan dunia, saat aku hendak melaksanakan
sholat magrib di masjid, “kak Hani !” “ada apa Rido ?” “Rido boleh ikut
sholat di masjid nggak ?” “Rido kan masih sakit….! mendingan sekarang
Rido istirahat dulu di kamar…! Kakak aja yang ke masjid…”.kemudian aku
langsung pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid.
Saat aku melaksanakan sholat magrib, perasaanku sangat tidak enak
karena aku meninggalkan rido sendirian tanpa pengawasan, sedangkan kedua
orang tuaku berdagang dari pagi tadi, mereka mencari uang untuk
pengobatan Rido, yang memang untuk penyakit yang satu ini, biaya
pengobatan yang harus dikluarkan memang tidak sedikit.
Usai aku melaksanakan sholat magrib di masjid, aku langsung lari ke
rumah dengan penuh kekhawatiran. Dan saat aku membuka pintu rumah,
begitu terkejutnya aku melhat Rido terbaring di depan pintu dengan
sarung, baju koko, dan peci hitam yang melekat di tubuhnya. Saat itu
juga, aku langsung melarikannya ke rumah sakit terdekat
“Gimana dok, keadaan Rido ?!” aku langsung menghampiri dokter ketika ia
baru keluar dari ruang UGD, “semoga anda dan keluarga sabar menerima
kenyataan pahit ini. Rido adik anda… tidak bisa bertahan hidup lebih
dari tiga bulan kedepan… yang bisa anda lakukan hanya berdoa kepada
tuhan, berharap agar tuhan memberikan keajaiban kepada adik anda…”
seketika itu juga aku langsung menangis histeris di sudut ruangan, dan
di saat yang sama, orng tuaku datang “Hani….Hani….!! kamu kenapa ?!”
ibuku memanggilku dengan nada yang sangat panik. Aku tidak bisa menjawab
pertanyaan ibuku karena aku benar-benar sangat merasa sedih. Kemudian
ibuku menanyakannya kepada dokter. Setelah dokter menjelaskan, ibu dan
ayahku-pun ikut menangis dan mereka langsung memelukku.
“Rido kenapa bu…?”, Rido menanyakannya dengan suara yang sangat lemas.
Sambil menangis, ibuku menjawab “kamu nggak kenapa-napa nak…”. Rido
balik bertanya “kalo nggak kenapa-napa, kok ibu, bapak, ama kakak
nangis…?!”, kemudian ibuku langsung mengusap air matanya, lalu ia
langsung memeluk Rido sambil berkata “Rido nggak kenapa-napa kok… besok
pagi, ibu beliin ayam goreng kesukaan Rido ya…”, “makasih ya bu…” sambil
sedikit tersenyum.
Bumi kembali memuntahkan matahari dari sebelah timur, aku masih
menemani Rido di rumah sakit. Biasanya, untuk menghilangkan kejenuhan
aku mengucapkan beberapa lelucon yang bisa kukeluarkan, namun Rido hanya
tertawa kecil, walaupun begitu, aku tetap merasa bahagia. aku memang
harus menyembunyikan kesedihanku di hadapannya, walaupun sebenarnya,
hati kecilku ini tak bisa lagi menahan kesedihan karena melihat keadaan
Rido yang seperti saat ini.
Hari demi hari, minggu demi minggu sampai pada bulan ke dua dari ucapan
dokter saat itu, keadaan Rido sudah sangat memprihatinkan. Wajahnya
semakin pucat, badannya semakin lemas, sampai-sampai, dia sekarang tidak
bisa bicara.
Seperti hari-hari sebelumnya, aku membuatkannya semangkuk bubur dan
segelas teh hangat untuknya. Dan pada suatu ketika, saat aku masuk ke
kamarnya, kulihat dia sedang menunjukkan kepadaku sebuah kertas yang
bertuliskan “kak… Rido nggak usah di buatin bubur ama teh lagi… rido
nggak mau nyusahin kakak…” kemudian aku menghampirinya “Tenang aja… rido
nggak nyusahin kakak kok… kakak ngelakuin ini biar Rido cepet sembuh…
nih, makan dulu, biar cepet sembuh…” kemudian aku menyuapinya dengan
kasih sayang.
Keesokan harinya. Seperti biasa, aku membawakannya makanan, ketika aku
masuk ke kamarnya, kulihat dia sedang menuliskan sesuatu di selembar
kertas dengan pena kecilnya, ketika aku mendekatinya, dia langsung
menyembunyikannya di balik badannya ketika aku bertanya “itu kertas apa
Rido…?!” dia malah tersenyum kepadaku. Dalam otakku, aku berpikir itu
adalah kertas yang bertuliskan selamat ulang tahun untuk sahabat
karibnya di sekolah yang memang dua hari lagi ia berulang tahun
Beberapa hari kemudian aku kembali membawakannya bubur dan teh hangat
untuknya, tapi hari ini ada yang spesial, aku membawakan coklat
kesukaannya, dia juga aku belikan baju baru dengan warna favoritnya,
yaitu hitam. Pada baju itu terdapat tulisan yang sengaja kubuatkan
untuknya, tuisannya adalah “Just For You Rido”. Saat aku berjalan
menyusuri lorong rumah sakit dengan gembira, sudah bisa ku-bayangkan
senyuman manis rido saat kuberikan dua benda favoritnya itu.
Saat aku memasuki kamarnya, begitu terkejutnya aku ketika dia
memanggilku, “kakak… kakak…” “Rido… Rido kamu bisa ngomong lagi ?!”
senyumku berbunga bunga manis di pipiku. Aku langsung meletakkan
benda-benda yang kubawa tadi di atas meja. Ketika aku mendekatinya,
kulihat ia mengulurkan sebuah surat kepadaku. Sambil tersenyum lemas,
dia berkata “ma.... makasih.... ya kak.....!”, belum sempat kugapai
surat itu, dia menjatuhkannya ke lantai, dan ketika kulihat, dia sudah
tak sadarkan diri, seketika itu juga, senyumku jatuh menjadi raut
kesedihan. Aku langsung memanggil dokter dengan suara yang keras
“DOKTEEERR....!!!”. tak berselang lama, dokter-pun datang dengan membawa
alat periksanya, dia memerintahkanku untuk menunggu di luar, aku
mengambil surat itu di lantai kemudian keluar dari ruangan itu.
Di luar, aku tak bisa menahan air mata. Aku menunggu kepastian dengan
penuh harapan, sampai akhirnya dokter keluar dengan raut muka
penyesalan. “maaf sekali mbak Hani... kami tidak bisa menyelamatkan
nyawa Rido, Rido sudah dipanggil oleh yang maha kuasa. Semoga anda dan
keluarga diberikan kesabaran oleh allah. Saya turut berduka atas
meninggalnya Rido”. Tak usah menunggu lama, aku langsung masuk ke kamar
itu dengan tangisan histeris.
Tangisanku semakin menjadi-jadi ketika aku melihat Rido sudah ter-baring
tak bernyawa. “Ridooo.....!!!” aku berteriak memanggil namanya,
berharap dia kembali bangun, namun apa daya, Rido tak akan kembali lagi
untuk selama-lamanya.
Saat pemakaman Rido, mungkin aku adalah orang yang paling sedih di
tempat itu, rido di makamkan bersama baju hitam yang kubelikan waktu
itu. Saat yang lain meninggalkan area pemakaman, tinggal aku dan kedua
orang tuaku yang tetap tinggal. “udah Hani... kamu harus sabar, kalo
kamu sabar, insya allah Rido akan bahagia di alam sana” aku hanya
terdiam tak menanggapi ucapan ayahku tadi, “ayah pulang dulu ya...”
ayahku meninggalkan pemakaman disusul oleh ibuku.
Setelah ayah dan ibuku pulang kerumah, aku mengeluarkan surat yang Rido
berikan kepadaku, aku membaca surat itu sembari menangis di-salah satu
sisi makam Rido, dan kira-kira isi suratnya seperti ini
Kak Hani, makasih buat semua yang kak Hani lakuin buat Rido,
Rido seneng banget punya kakak kaya kak Hani. Apalagi waktu kak
Hani bikinin Rido bubur, buburnya enaakk... banget, kak Hani emang
tau apa yang Rido suka, makasih ya kak... Tapi kayaknya Rido harus
ninggalin kakak, tapi walaupun Rido udah pergi, Rido tetep akan nginget
kakak, dan kakak harus ngelakuin sebaliknya. tolong bilangin ke temen
sekolah Rido kalo rido mau tidur sebentar, temen-temen nggak boleh
sedih.
Dan yang terekhir, tolong bilangin ke bapak ama ibu, jangan sedih, kita
akan ketemu lagi di surga nanti, makasih atas pengorbanan harta dan
jasanya. Jasa ibu dan bapak nggak akan pernah Rido lupain, selamanya.
Rido pamit dulu ya
Wassalamu’alaikum
(al_falah43)
Komentar
Posting Komentar